tirto.id - Sebanyak 130 organisasi masyarakat sipil dari Aceh sampai Papua yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Rempang menyampaikan desakan kepada pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Joko Widodo, untuk menghentikan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.
Mereka meminta pemerintah menghentikan pematokan dan penggusuran, serta mendesak kepolisian untuk membebaskan tanpa syarat puluhan warga yang ditangkap dan ditahan karena berdemonstrasi pada 7 dan 11 September 2023.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyebut proyek Rempang Eco City merupakan PSN yang sangat bermasalah.
Zenzi menilai hampir dalam setiap pembangunan PSN di Indonesia, pemerintah selalu melakukan mobilisasi aparat secara berlebihan yang berhadapan dengan masyarakat.
“Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak,” kata Zenzi dalam keterangan tertulis, Kamis (14/9/2023).
Senada, Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin menyebut pembangunan proyek Rempang Eco City memiliki sejumlah kecatatan serius, di antaranya tidak adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta tak ada peruntukan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Bahkan, menurut Zainal, sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan oleh Kementerian ATR/BPN kepada Badan Pengembangan (BP) Batam untuk mengelola Pulau Rempang sampai sekarang tidak dapat dibuktikan.
“Dalam pembangunan proyek Rempang Eco City, dapat dipastikan banyak kecacatan prosedur serta persoalan lingkungan hidup,” tegas Zainul.
Dalam keterangan yang sama, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menjelaskan bahwa HPL merupakan jenis hak atas tanas yang baru.
HPL dapat dipastikan tidak ada landasannya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Meski demikian, HPL sangat kuat digunakan oleh pemerintah untuk kepentingan Investasi.
“Ketika sebuah badan atau lembaga diberikan HPL, badan atau lembaga tersebut dapat bertransaksi dengan pihak ketiga untuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), bahkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Di sinilah letak persoalan yang sangat berbahaya,” kata Dewi.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai apa yang terjadi di Pulau Rempang menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Republik Indonesia. Mereka juga menilai negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sementara itu, Polresta Balerang telah menetapkan 34 orang sebagai tersangka kericuhan saat demonstrasi menolak pembangunan Rempang Eco City di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Mereka berunjuk rasa menolak relokasi 16 Kampung Tua Pulau Rempang.
Kabid Humas Polda Kepulauan Riau, Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan puluhan tersangka itu diduga melakukan perusakan dan melawan aparat penegak hukum.
”Dari 43 [yang ditangkap], ada 34 yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Karena memang unsur terpenuhi dalam unsur pasal tersebut,” kata Pandra saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/9/2023).
Puluhan tersangka itu dijerat dengan Pasal 211 KUHP, Pasal 212 KUHP, Pasal 213 KUHP, Pasal 214 KUHP, serta Pasal 170 KUHP.
Polreta Balerang sebelumnya juga menetapkan tujuh tersangka dalam bentrokan antara warga Pulau Rempang dengan aparat penegak hukum gabungan yang terjadi pada Kamis (7/9/2023). Ketujuh tersangka itu mendapatkan penangguhan penahanan.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan